#4. “El Classico”: Something new they know about Kavindra.
NOTES: Ada scene cukup sensitif terkait keluarga dan ada scene serangan panik (panic attack) salah satu pemeran. Kalau tidak kuat atau bisa men-trigger, bisa di-skip dulu ya.
TW (Trigger Warning) // Family Issues , toxic family relationship , psychological issues , panic attack
⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻
“Bangsat, harusnya gue blokir mereka dari dulu- Mahesa?”
Mahesa tergagap dari lamunannya ketika Kavindra yang tadinya masih menggerutu, tiba-tiba sudah di dapur dan menyapanya. Ia pun tersenyum kecil. “Hey, Vin. Mau susu?”
Ada hening di antara keduanya setelah Mahesa menawarkan susu pada Kavindra. Lelaki bertubuh bongsor itu meringis kecil, merasa malu atas ucapannya tadi. Namun tidak disangka, Kavindra mengangguk dan memutuskan.
Kavindra menelan ludah kepayahan. Jemarinya meremat botol susu yang diberikan Mahesa, tidak lupa dengan raut wajah yang terlihat keras namun mata bulat Kavindra terlihat bergetar. Pergerakan itu tidak luput dari netra Mahesa. Malu, gugup, dan takut; itu yang diperlihatkan Kavindra pada Mahesa melalui gerakan tangannya.
“L-lo tadi pasti dengerin gue ya tadi di halakan belakang?” tanya Kavindra lirih, ia merasa buruk karena rahasia keluarganya yang buruk tidak sengaja terbongkar. Mahesa terdiam sejenak mendengar pertanyaan Kavindra. Berusaha memilih kata atau kalimat yang tepat agar tidak menyakiti teman barunya. Dan tindakannya itu malah membuat Kavindra berpikiran macam-macam.
Akhirnya Mahesa mengangguk pelan. “I accidentally heard it, lebih tepatnya. Tenggorokan I kering jadi ke dapur, terus nggak sengaja, you know, dengar you marah-marah. I minta maaf kalau itu bikin you merasa your privacy being exposed. I nggak bermaksud nguping.”
“Iya gue tahu kok, lagian buat apa juga nguping tentang masalah keluarga gue yang kacau balau macem kapal pecah gitu wkwk.” tawa Kavindra pelan dengan gelengan. “Malah gue malu karena cerita keluarga gue. Sorry ya lo harus denger begituan.”
Mahesa mengangguk pelan. Ia menatap temannya yang kini mengalami perubahan pada ekspresi wajah dan gerak tubuh. Jemari Kavindra mengepal erat, raut wajahnya keras dan tubuhnya gelisah setelahnya. Mahesa mengamati lelaki di depannya, merasa benar terkait firasatnya akan sesuatu tentang Kavindra. ‘He looks like want to say something…’ batin Mahesa dengan mata yang masih mengawasi Kavindra, yang kini mulai gemetar.
“Gue… Gue… Keluarga gue… Jangan, tolong jangan pukul! Jangan pukul, ampun ma ampun…” teriak Kavindra histeris tiba-tiba. GUBRAK! Kavindra menjatuhkan dirinya di lantai. Dada lelaki bernama lengkap Carlo Riordan Kavindra itu naik turun dengan cepat seiring dengan nafas yang memburu dan kaki yang juga menendang udara. Keringat, bersamaan dengan wajah Kavindra yang memucat. Dengan cepat Mahesa berjongkok mendekati Kavindra yang mengalami serangan panik cukup parah. Ia berusaha mencari obat yang mungkin saja dikonsumsi Kavindra pada jaketnya, namun Mahesa tidak menemukan obat apapun.
“Kavindra! Kavindra! Follow me! Inhale, exhale, inhale exhale…” Mahesa berteriak keras, berusaha membantu Kavindra untuk bernapas agar lelaki kerwajah mungil itu tetap sadar dan serangan paniknya tidak menguasai tubuh serta pikirannya. Ia ingin mencari obat di saku celana kargo Kavindra namun Mahesa memutuskan untuk membantu Kavindra bernapas secara stabil terlebih dahulu dengan melakukan apa yang ia sudah lakukan. Membisikan kata-kata penenang sembari membantu Kavindra bersender pada tembok agar tubuhnya, secara fisik, tidak kesakitan.
Tanpa keduanya sadari, hal itu membuat ke-sembilan penghuni El Classico bergegas ke dapur mendengarnya dan ikut panik. Mereka belum pernah melihat Kavindra mengalami serangan panik dan ini pertama kalinya, termasuk bagi Narendra dan Jesse yang merupakan teman dekat Kavindra.
Narendra pun dengan cekatan menginstruksikan teman-temannya yang lain untuk diam, sebelum ia mengambil air putih hangat untuk Kavindra. Narendra mendekati Mahesa dengan pelan. Bisa mereka lihat, kedua tangan besar Mahesa masih memegang bahu Kavindra sembari terus mengucapkan ‘inhale exhale’ dengan beberapa kalimat penenang berulang kali dengan nada lembut pada Kavindra.
“Inhale, exhale Kavindra! Gue bukan orang tua lo, kita semua temen lo. Kita nggak bakal nyakitin lo. Kita bakal lindungin lo, kita percaya sama lo. Napas, Kavindra, napas. Lo aman di sini… Inhale exhale…” Perlahan, kondisi Kavindra pun mulai berangsur stabil meskipun tangannya masih gemetaran. Mahesa masih terus Kavindra bernapas secara pelan sesuai instruksinya. Narendra mengulurkan air minum untuk teman dekatnya.
“Obatnya… Di saku celana…” pinta Kavindra lirih menunjuk arah saku celana kargonya, yang diambil dengan cepat oleh Narendra dan membantu Kavindra meminum obatnya. Satria pun mengarahkan Narendra dan Jesse untuk membawa Kavindra kembali ke kamarnya.
⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻
“Did you triggered him by talking about his family?”
Mahesa menghembuskan nafasnya kasar mendengar pertanyaan Sergio. Dia bahkan baru beberapa jam di sini dan sudah dituduh begitu oleh salah satu penghuninya.
“I literally baru berapa jam di sini so i know nothing. Posisinya I ke dapur buat minum, terus I tak sengaja dengar Kavindra marah-marah di telfon bahas tentang perceraian dan hak asuh. Kalau kalian ingat, beberapa dari kalian nonton Ikaten Cinta pas kejadian itu. “ jelas Mahesa panjang lebar dengan tangan bersedekap di dadanya. Beberapa dari mereka menunduk mendengar ucapan Mahesa yang memang benar.
Lelaki yang biasa dipanggil Esa menghela nafasnya. “I don’t mean to be rude but berapa tahun kalian kenal Kavindra? Apa selama ini dia nggak pernah gini sebelumnya? Atau kalian malah nggak tahu?”
Ke-tujuh penghuni kos itu hanya terdiam mendengar pertanyaan Mahesa. Berpikir untuk mengingat-ingat jika mereka pernah melihat Kavindra terkena serangan panik.
“Kalau serangan panik enggak, Mahes. Cuma aku pernah lihat Kavindra muntah habis berantem sama ortunya. Aku bantuin dia waktu ngelihat dia muntah, kutanya kenapa katanya dia kurang tidur.” jawab Johan sembari menepuk dagunya berusaha mengingatnya.
Satria pun menengahi. “Dari kita bersepuluh, Kavindra itu yang paling tertutup. Kita cuma tahu dia anak pengusaha kaya dan salah satu pemilik franchise hotel mewah juga, selebihnya nggak tahu karena dia selalu nggak nyaman buat ngomongin itu.”
Mahesa mengusap wajahnya kasar.
“I pikir dia lama nggak konsultasi ke psikiater atau psikolog makanya dia bisa kambuh separah itu. Dan saran I, please after this jangan perlakukan dia beda ya. At some ways, orang yang mental health-nya unstable gitu nggak pengen diperlakukan beda meskipin ada yang sealalu jadiin mental health mereka sebagai tameng buat bertindak kasar atau lari dari kesalahan. And let kak Jesse taking care of him too since he might know as a future psychologist.”
Ke-tujuh penghuni kos lainnya pun mengangguk pad penjelasan Mahesa, sebelum membubarkan diri atas suruhan Satria. Mereka semua harus istirahat.
“Mahesa.”
Lelaki berambut hitam itu menghentikan langkahnya, menoleh kepada Satria yang memanggilnya. “Ya?”
“Thank you udah nyelamatin Kavindra. Maaf atas ucapan Sergio tadi, dia soalnya sayang banget sama Kavindra dan nganggep Kavindra sebagai pengganti bangnya yang di luar kota makanya dia panik. Tapi gue nggak membenarkan tindakan atau ucapan dia ke lo.”
Mahesa tersenyum kecil, seiring dengan anggukan yang didapat Satria.
(sumber: https://www.halodoc.com/artikel/6-cara-mengatasi-serangan-panik-dengan-cepat)
⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻
©plot written by @bhasagita