#5. “El Classico”: Family Time.
“WOY JERICHO! BANGUN LO!”
Suara milik Jesse yang cukup keras menggema di lantai satu El Classico bersamaan dengan gedoran di pintu kamar yang sama kerasnya. Mahesa menelan ludahnya takut melihat kakak favoritnya (ini info baru, diam saja ya soalnya Mahesa malu) terlihat betulan marah.
Sesuai dengan yang ada di grup pesan belanja bulanan, jadwal belanja kali ini dilakukan oleh Jericho dan Mahesa. Jam sudah menunjukkan 19.15 malam, namun Jericho masih.
Tidak sabaran, Jesse membuka pintu kamar Jericho dengan gebrakan kasar dan bisa dilihat Jericho yang langsung terbangun dengan setengah sadar. Rambut awut-awutan dengan tubuh berbalut piyama bercorak doraemon (kado dari Sergio dan Meru di ultah Jericho) menyambut Jesse dan Mahesa.
“Paan sih, Jes? Gue masih ngantuk njir.” Jericho menguap lebar, tidak menyadari Mahesa yang menatapnya dengan datar.
‘Astaga…’ batin Mahesa sembari menggelengkan kepalanya pelan. Namun berusaha maklum karena Jericho tadi bilang bahwa ia kelelahan.
Dengan sebal, Jesse memukul kepala Jericho dengan guling agar sadar. “Lo belanja hari ini sama Mahesa, ini udah hampir setengah lapan. Keburu tutup!”
Jericho mengerang keras atas pukulan guling di kepalanya.
“Sorry ya Mahes, dia shift koasnya dapet malem mulu jadi pulang pagi atau siang. Tunggu aja di mobilmu, tadi udah kakak bilangin pakai mobilmu.”
Mahesa mengangguk. “Ok, I ke depan rumah bang Satria ya.”
“Ya, nanti kusuruh Jericho cepet.”
⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻
“Telur, mie instan, bumbu masak instan…” gumam Mahesa pelan dengan mata terpaku pada gawainya yang berisi list barang yang harus dibelanjakan. Di belakangnya ada Jericho yang mendorong troli berisi belanjaan mereka.
“Cemilannya mau beli apa, Hes?” tanya Jericho sembari melihat-lihat rak di kanan kiri mereka. Keduanya kini telah berada di rak makanan ringan.
Mahesa menggeleng. “Nggak ada snack kesukaan I di sini, kak. Ntar I beli sendiri aja deh.”
“Yaudah, gue ambil beberapa.”
“Totalnya enam ratus tujuh puluh lima ribu lima ratus ribu rupiah kak ( Rp 675.500). Ada membernya?”
Jericho hendak mengeluarkan kartu debitnya, sebelum tiba-tiba Mahesa dengan mengeluarkan kartu berwarna hitam lengkap dengan kartu member Indoapril. Mulut Jericho melongo sebentar melihat apa yang baru sajania lihat.
‘Anjir.. Apa ini yang diomongin bang Satria bukan main itu yak? Bangsul, dia punya black card jadi sekaya apa anjir…’ Inner suara hati milik Jericho masih belum memproses rasa terkejutnya ketika Mahesa sudah selesai membayar.
“Ayo kak!” seru Mahesa semangat setelah meletakkan beberapa plastik berisi belanja bulanan ke dalam troli lagi. Jericho mengerjapkan matanya, mengangguk dan mendorong troli mereka menuju parkiran di mana mobil Mahesa terparkir.
⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻
“Assalamualaikum!” seru Mahesa keras ketika ia dan Jericho sudah sampai di kosan. Balasan ‘walaikumsalam’ terdengar seiring dengan beberapa langkah kaki yang terdengar menuju dapur.
Calvin menguap lebar, menatap Mahesa dan Jericho. “Kok lama amat tumben? Dari mana aja?”
“Tadi nganter Mahesa ke supermarket yang jual makanan luar negeri itu, lupa gue namanya.” balas Jericho singkat sembari membantu Mahesa, Jesse, Johan, dan Satria yang mulai mengatur dan menata belanjaan mereka di meja makan. Sedangkan yang lain mulai menaruh barang belanjaan tersebut di kulkas.
“Banyak banget belanjanya, habis berapa? Biar diarsip sama Johan.” Satria menoleh ke arah Jericho, sedangkan Jericho menunjuk ke arah Mahesa menggunakan dagunya; mengode bahwa Mahesa yang membayar.
Mahesa mengangkat kepalanya setelah Johan menepuk bahunya pelan. “Oh, I forgot habis berapa tadi. Nggak banyak kok, no need to gantilah.”
Jericho kembali melongo mendengarnya, ia berucap ‘enam ratus hampir tujuh ratus ribu’ tanpa suara ke penghuni lain. Membuat yang lain ikut terkejut, namun berusaha menutupinya takut menyinggung Mahesa.
“Beneran nggak papa Mahes nggak diganti? Nanti kita talangan kok.” tambah Jesse melengkapi perkataan Satria tadi.
Mahesa mengangguk. “Dua rius nih I. Beneran nggak papa, hitung-hitung welcoming gift hehe.”
‘Mana ada welcoming gift harganya hampir 700 ribu, mana pakai black card….’ begitu batin penghuni El Classico sembari memikirkan isi dompet mereka yang hampir tidak ada dua lembar uang berwarna pink-merah itu.
.
.
.
.
.
“Misi kak, Gofut!”
Sebelas lelaki di ruang tamu yang asik menonton film ‘The Invisible Guest’ pun menoleh ke arah pintu.
“Siapa yang pesan gofut?” tanya Johan pada teman-temannya, yang dibalas gelengan. Mahesa mengerutkan dahinya sebelum berdiri dan berjalan menuju teras.
Mahesa membuka pintu rumah, menyembulkan kepalanya keluar. “Gofut dari who ya kak?”
Driver Gofut itu membaca ponselnya terkait pesanan yang ia bawa. “Ini dari mbak Anandya Btari sama Manggala Junior, mas. Katanya buat mas Mahesa dan teman. Udah dibayar kok mas.”
“Oh ok, makasih kak.” Mahesa mengangguk, membuka pintu lebih lebar dan menerima dua plastik besar berisi makanan & minuman dari restoran cepat saji Mekdi. Driver ojek online itu pun kemudian berpamitan kepada Mahesa.
Mahesa pun membawa plastik tersebut ke.ruang tamu, mengundang rasa penasaran dari teman-temannya. Baunya sangat menggoda, apalagi malam-malam begini.
“Itu dari siapa abang?” celetuk Meru penasaran.
“Dari kakak sama adek I. Waktu itu bilang mau kirim makanan sih cuma nggak tahu mau kapannya.” balas Mahesa santai. Ke-sepuluh temannya melongo mendengarnya, bisa-bisanya Mahesa sesantai itu setelah dikirimi makanan sebanyak dua plastik besar.
“ Anjir….”
“Hah banyak banget makanannya…”
“Yakin ini kita makan semua Mahes?”
Mahesa tertawa mendengar keterkejutan teman-temannya. Jujur ia juga sedikit kaget kakak perempuannya mengirim makanan sebanyak ini, meskipun memang ia tinggal dengan 10 orang. Tapi tetap saja hitungannya masih banyak untuk mereka.
“I nggak tau juga, kapan tu cuma bilang nanti di gofut gitu. Dahlah, makan je lah.” suruh Mahesa setelah selesai membuka dan mengeluarkan makanan minuman dari resto cepat saji tadi.
“Nanti tolong bilangin makasih ya ke keluargamu Mahes, ini banyak banget dan bisa buat stok besok.”
Mahesa tersenyum lucu. “Siap kak Johan, gampanglah tu.”
“Yaudah yuk makan. Jangan lupa berdoa, berdoa dipersilahkan.” Tak lama setelah berdoa dipimpin Satria, mereka ber-sebelas pun makan bersama sembari melanjutkan kegiatan mereka menonton film ‘The Invisible Guest’ yang sempat tertunda karena Gofut tadi.
Dalam diam, Mahesa menyempatkan diri untuk melihat Kavindra yang duduk di depannya. Kavindra terlihat lebih baik dan lebih ‘hidup’ dari beberapa hari lalu. Ia bersyukur setidaknya Kavindra tahu kalau dia tidak sendiri dalam menghadapi masalahnya. Banyak orang yang sayang kepadanya.
I wish you all the best, Kavindra.
⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻⸻
©plot written by @bhasagita