MOS OSPEK FAKULTAS TEKNIK, Universitas Pelita Bakti, 2xxx
Siang itu adalah hari pertama ospek fakultas teknik Universitas Pelita Bakti. Juan yang merupakan mahasiswa Teknik Sipil tentu saja menghadirinya, namun dengan kondisi yang sedang tidak baik. Sejak pagi tadi, perutnya terasa tidak enak dan berpanas-panasan siang ini semakin memperburuk kondisinya.
Juan yang sudah gemetaran, kini juga berkeringat dingin akibat kondisinya yang tidak enak. Marka (Jake), temannya, sudah melaporkan ke petugas medis terkait kondisi Juan tetapi tidak ada tanggapan. Jadi dalam diam, Marka pun berusaha membuat Juan tidak ambruk.
Di tengah perjuangan Juan dan Marka untuk tetap mengikuti ospek, tiba-tiba seorang senior perempuan dengan nametag Melia, melihat ke arah keduanya. “Heh, lo yang pakai jam Rolex, maju sini lo.”
Juan menelan ludah dan Marka panik. Marka berusaha bicara tentang kondisi Juan, namun tidak dipedulikan para senior mereka. Mau tidak mau, Juan terpaksa berdiri dan berjalan ke depan kerumunan dengan langkah yang agak limbung dan wajah pucat.
“Wah, lihat nih temen kalian pamer jam tangan mahal. Ajaran siapa lo boleh pakai aksesoris begini? Ckckck.” Rico, menarik tangan Juan kasar dan menunjukkan jam tangan mahal yang dipakainya. Sontak, Juan menghempaskan tangannya kasar karena tidak suka atas tindakan seniornya tersebut.
Para senior itu tertawa sinis, terutama Rico yang kini tersenyum jahat. “Push-up 100 kali, bocah bau kencur kaya lo perlu diajarin tata krama.”
Merasa tidak ada pilihan lain dan tidak mau terpancing emosi di tengah rasa sakit, Juan pun menurunkan tubuhnya untuk melakukan push-up. 20 hitungan terlampaui, namun di angka 30, badan Juan menolak untuk melanjutkan dengan tangan dan badan gemetaran.
Kondisi Juan yang sakit itu justru malah menjadi bercandaan para senior dan kata-kata yang tidak enak didengar pun menggema di lapangan tempat mereka ospek.
Semua mahasiswa di sana terlihat ingin membantu Juan, namun mereka tidak tahu bagaimana caranya. Di mata mereka, jika salah langkah, bisa saja mereka terkena hukuman parah, atau salahnya lagi Juan yang akan terkena masalah lebih berat.
“Stop, it.” Juan menoleh, seorang gadis berambut perak yang tiba-tiba berdiri dari barisannya dan berjalan menuju posisi Juan dihukum push-up.
Senior-senior yang menghukum Juan pun menatap gadis itu sengit. “Lo siapa berani jadi pahlawan kesiangan? Balik ke barisan lo!”
Gadis tadi hanya terkekeh kecil, kedua tangannya bersedekap. Menantang senior-senior yang bersikap sok berkuasa. Pemandangan tersebut makin menambah tingginya tensi di siang terik kegiatan ospek fakultas teknik itu.
“Lo lihat nggak ini cowok udah gemeteran dan keringat dingin? Dia lagi sakit dan tiba-tiba kalian hukum tanpa alasan? Gue tanya, kalian semua hukum dia kenapa? Kita semua mahasiswa baru nggak ada bikin ulah.” cecar gadis itu dengan nada keras, sembari memandangi para senior di depannya.
“Lo? Ngomong yang sopan, kita ini senior lo.”
“What did you get for snapped at innocent person? Lo iri karena dia mahasiswa baru pakai jam tangan Rolex yang mahal? Merasa tersaingi atau gimana?”
Gadis tadi mengulurkan tangannya ke arah Juan, bermaksud untuk membantu Juan berdiri, karena bisa dilihat lelaki itu terlihat gemetar dan berkeringat. Memegangi tangan Juan yang berdiri dengan agak limbung, gadis itu pun menatap tajam petugas medis yang kini berlarian ke arah keduanya.
Senior yang memakai lipstick merah tadi menggeram marah melihat tingkah laku gadis berambut perak itu. “Jangan banyak ba-”
Aurelia Mauryn Djiwo, nama yang Juan lihat di nametag, mendengus dan menyela ucapannya. “Kalau lihat ada orang sakit gini tuh peka. Sampai gemetaran gini masa harus nunggu pahlawan kesiangan kaya gue bertindak?”
Tiga petugas medis yang kini membantu Juan, hanya bisa membungkuk malu karena secara tidak langsung “dipermalukan” di depan umum. Mereka akhirnya membawa Juan menjauh dari kerumunan, menuju ruang kesehatan.
Melihat suasana yang tidak kondusif, salah satu senior pun maju ke depan para mahasiswa baru. “Lihat teman kalian yang sok jadi pahlawan ini. Kita lihat enaknya diapain si kurang ajar ini.”
Senior yang menjadi panitia OSPEK berjumlah 8 orang itu mendekat ke arah Aurel, dihadiahi bola mata Aurel yang berotasi malas. Para mahasiswa yang masih di sana merasa ketar-ketir, takut membayangkan apa yang akan terjadi pada Aurel.
“Gue tanya, lo tuh siapa sok-sokan berani ngelawan senior? Anak pejabat lo? Atau emang cuma sok berani aja?” tanya Melia, senior yang tadi memanggil Juan maju ke depan. Tangan perempuan itu bermaksud mendorong badan Aurel, sebelum jemari tangan Aurel menahan tangan Melia terlebih dulu.
“Don’t fucking touch me with your dirty hand.” geram Aurel dengan nada rendah, sebelum memelintir tangan Melia yang kini berteriak kesakitan. Hal tersebut kembali mengundang rasa terkejut dari semua orang yang hadir pada OSPEK fakultas teknik. Tidak menyangka akan ada yang seberani Aurel.
Kini Aldo, senior laki-laki yang menyuruh Juan, mendekat ke arah Aurel. “Jangan sok-”
BUGH!
Aldo tumbang terlebih dahulu sebelum menyelesaikan kalimatnya, akibat bogeman mentah yang dilayangkan Aurel. Lelaki itu berniat menyentuh pundak Aurel, namun tangannya ditepis Aurel dan dibalas dengan bogeman.
“Lo nanya kan, siapa gue? Gue nggak bermaksud sombong, tapi gue Aurelia Mauryn Djiwo dan gue pemilik kampus ini. Jadi sekali lo macem-macem dan mau ngebully orang, gue bisa D.O. lo semua dengan mudah.”
Aurel kemudian mendorong Melia kasar, hingga gadis itu terjerembab. Suasana OSPEK yang sudah hening, menjadi semakin senyap dengan tindakan dan ucapan Aurel. Para senior yang hendak membalas Aurel, berakhir diam di tempat. Tidak menyangka bahwa gadis berambut perak itu adalah anak dari pemilik kampus tempat mereka menuntut ilmu.
Aurel kemudian membubarkan OSPEK siang hari itu tanpa rasa takut, karena para senior tadi masih termenung atas apa yang terjadi di hari pertama OSPEK. OSPEK hari pertama di fakultas teknik Universitas Pelita Bakti pun berakhir dengan ‘damai’. Namun, tidak bagi para mahasiswa yang mengucapkan banyak terima kasih pada Aurel.
Juan mengerjapkan matanya berulang kali, berusaha menyesuaikan pandangannya setelah tertidur hampir dua jam lamanya akibat obat yang diminumnya tadi. Bisa ia lihat ada Marka yang ikut tertidur di kursi tunggu sebelah kasur yang ia tempati.
Memposisikan tubuhnya dengan setengah duduk bersenderkan tembok, Juan bermaksud untuk mengambil minum di meja sebelum ia melihat sebuah nasi boks dengan sebuah kertas di atasnya.
Tidak ingin membangunkan Marka, Juan pun dengan pelan mengambil kertas itu dan membacanya.
‘Halo, cowok Rolex. I don’t know your name yet so I will call you that, sorry ya hehe. Gue cuma mau bilang lo tadi keren banget bisa nahan emosi di tengah ucapan gembel nyakitin hati lo kaya gitu, and I will make sure they will pay it later. Ini gue beliin makanan buat lo makan kalau udah bangun, tadi gue sama temen gue Rachel (Winter) beli makanan favorit kita berdua jadi sekalian aja. Itu ada dua boks, buat lo sama temen lo yang tadi berusaha bantuin lo.
Semoga lo cepet sembuh ya, maaf kalau tadi gue telat nyelamatin lo.
Regards, Aurel Mauryn.’
Juan tersenyum simpul setelah membaca surat yang ternyata dari gadis berambut perak yang menolongnya tadi siang. Seketika hatinya menghangat melihat dua nasi boks yang ada di meja tadi.
fin.